09 April 2013

prinsip dasar ekonomi syariah.

Prinsip Dasar Ekonomi dan Perbankan Syariah

Jumat, 30 November 2012 08:31 WIB
Diasuh oleh Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA.

Pertanyaan
Abu Muslim Ibrahim yang mulia,
Assalamualaikum wr wb.

Berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan berita-berita tentang bank syariah, baik BPRS, Bank Umum Syariah atau Unit-unit Syariah pada bank kovensional, banyak orang membicarakan tentang Bank Islami. Pembicaraan itu hampir merata di semua khalayak.

Akan tetapi, menurut saya, pembicaraan itu tidak akan tuntas, kalau para pembicara tidak mengetahui apa sebenarnya yang menjadi prinsip dasar dari bank tersebut. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, saya mohon sudikiranya Abu Muslim menjelaskan kepada kami akan masalah tersebut. Demikian dan wassalam.

Abzar Ismail
Aceh Timur

Jawaban
Sdr Abzar Ismail, yth.
Waalaikumussalam wb wb.

Sudah sama kita maklumi bahwa semua ketentuan dalam Islam adalah berdasarkan Alquran, Assunnah, Ijmak dan Qiyas, serta beberapa dalil tambahan lainnya yang direstui oleh kedua sumber utama dan petama tersebut.

Demikian juga halnya dengan Ekonomi dan perbankan yang islami. Para pakar hukum Islam, sejak dari sahabat, tabi’iin, tabi’ut-tabi’iin, para imam mujtahid, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali telah berupaya keras, menggali ketentuan pokok dalam ekonomi. Ini kemudian dianalisa dan diklasifikasikan para ekonom muslim modern dalam enam prinsip pokok yang disebut mabaadi-us sittah dalam perbankan Islami, yaitu:

Pertama, Allah swt adalah pemilik mutlak semua harta, sesuai dengan firmanNya: “...Dan kepunyaan Allahlah semua yang ada di langit, dibumi dan juga yang terdapat diantara keduanya...” (QS. Al-Maidah: 17). Prinsip ini sesungguhnya menjelaskan kepada kita bahwa harta yang kita miliki adalah semata-mata anugerah Allah kepada kita sebagai barang yang berstatus hak pakai. Kita harus menggunakan harta tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah dirumuskan dalam konsep halal dan haram menurut agama;

Kedua, kemanusiaan dan Kewajiban taat kepada Allah. Allah menciptakan alam ini, dengan segala kekayaan yang terpendam di dalam dan di luarnya adalah untuk keperluan manusia. Dalam memanfaatkan hak milik itu, haruslah didasarkan pada khudhu’ dan tawadhu’ kepada Allah swt. Bila pemanfatan alam dilakukan sesuai dengan petunjuk syariat, Allah akan memberikan pahala, karena perbuatan itu adalah ibadah ghairu mahdhah, sesuai dengan firmanNya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya. Lalu nafkahkanlah sebagian dari harta yang dikuasakan Allah untukmu. Kepada orang yang beriman dan menafkahkan harta akan diberikan pahala yang besar” (QS. Al-Hadiid). Dalam ayat lain: “Apabila harta itu tidak dimanfaatkan sesuai ketentuan agama, harta itu akan diserahkan kepada orang lain yang dikehendaki” (QS. Al-An’aam: 133);

Ketiga, bersatu-padunya nilai akhlak dengan ekonomi dan finansial. Perbankan Islam, tidak didasarkan pada keuntungan materi semata. Keberhasilan bank dalam memperoleh keuntungan besar, tapi dengan menginjak-injak norma dan nilai akhlak, menurut Islam, adalah kegagalan. Oleh karena itulah ekonomi Islam berprinsip bahwa nilai moral dan ekonomi haruslah menyatu dalam sistem perbankan islami.

Akhlak di sini meliputi akhlak manusia sesama manusia, maka riba hukumnya haram; akhlak manusia dengan lingkungan, sehingga penebangan hutan secara liar, dinilai pencurian; dan akhlak dengan binatang, sehingga pemberian kredit kepada penganiaya binatang, seperti leumo pupok, tidak dapat dibenarkan.

Kalau manusia melanggar ketentuan itu, mereka akan ditimpa bencana,  baik banjir, atapun kehidupan melarat, sebagaimana yang dapat dipahami dari ayat 134, surah Thaahaa. Sebaliknya, bila mereka beriman, bertaqwa, lengkap dengan akhlak mulia, maka Allah SWT akan membuka pintu keberkatan dari langit dan dari bumi, sebagaimana yang dijelaskan ayat 96 surah Al-A’raf.

Keempat, mengutamakan kerja dan pembangunan. Cara untuk memperoleh keuntungan menurut Islam ialah dengan bekerja. Islam menjunjung tinggi etos kerja. Hanya dengan bekerja keras sajalah pembangunan sektor ekonomi dapat berhasil. Untuk merealisasi prinsip inilah, Islam lebih menggalakkan tabungan investasi tinimbang noninvestasi, sehingga diwajibkan membayar zakat dari tabungan ini setiap tahun. Sedangkan deposito investasi, zakatnya hanya diambil dari penghasilan. Itupun apabila mencapai nishab. Bukankah dunia ekonomi telah membuktikan bahwa deposito noninvestasi telah menjadikan pemiliknya hidup dalam kemalasan, sehingga menimbulkan inflasi yang fatal?

Kelima, kekayaan dan keuntungan ekonomi berorientasi pada nilai sosial. Islam mewajibkan zakat kepada pemilik kekayaan yang melebihi kebutuhan pokok dan mencapai nishab, untuk dibagi bagikan kepada shinif yang telah makruf, sebagai dana sosial islami. Penegasan ini disampaikan Allah swt dengan firmanNya: “Di dalam harta yang kamu miliki itu ada hak fakir dan miskin” (QS. Az-Zaariyat: 19).

Keenam, memperoleh keuntungan bersama. Inilah prinsip keadilan yang paling utama. Rugi sama ditanggung dan untung sama dibagi. Dan inilah sesungguhnya yang memberikan kehidupan pasti kepada bank, yang lembaga keuangan ini menurut Islam adalah perantara; ia mencari modal disatu pihak dan menyalurkan modal itu kepada oang membutuhkan dipihak lain. Dengan demikian, ketiga pihak, yaitu pemilik modal, pemanfaat modal dan bank akan saling bahu-membahu dalam meluncurkan perputaran roda pembangunan dalam bidang ekonomi. Mereka ber-ta’aawanu ‘alal birri wat taqwaa dalam menanggulangi beban hidup dan kehidupan.

Menurut Prof Dr Syeikh Abdul Aziz Najjar, Konsultan Ahli pada Islamic Development International, Jeddah, profit sharing, yang dalam aplikasinya sering juga disebut join fenture itu, memiliki 5 keutamaan yang sama sekali tidak dimiliki oleh bank ribawy: 1. Dapat meningkatkan semangat penanaman modal; 2. Dapat menjamin keadilan pembagian keuntungan; 3. Dapat memungkinkan pertumbuhan bank yang kurang digit, karena sistem ini tidak mengenal adanya bunga; 4. Para pakar akan berganding bahu dengan pemilik modak, pengusaha dan juga dengan perantara, yaitu bank; 5. Dengan demikian, sistem ini dapat diandalkan bagi pembangunan ekonomi dan perbankan di dunia miskin ataupun negara berkembang, di samping sistem islami ini amat ampuh untuk memperbaiki ekonomi dunia kaya dalam pemerataan pendapatan dan penghasilan. Demikian, wallahu a’lamu bishshawaab.